Bab 2 lurus
Halaman 6
Gelap dan hampa menjadi
instrumen yang mengagumkan untuk ku olah dan kerjakan, angan dan harapan seolah
berdansa mengikuti perintahku, akulah penguasa di dunia ini, dunia yang tak
perlu aku kelola dengan busuk dan buruknya sebuah aturan, ataupun ringkihnya
sebuah keyakinan di dunia ini aku menciptakan yang tak pernah ku buat, di dunia
ini sempurna adalah kenyataan.
Pertama kali rintik hujan
muncul di pagi buta ini, suasana hening kental terasa di telinganya begitupun
cuaca yang sangat dingin melekat di sekujur badannya, waktu seolah bergerak pelan
mengikuti pergerakan bola matanya,
Mata yang gelisah seolah mencoba keras mengangkat kelopak
yang begitu berat untuk terbuka, seperti hari-hari sebelumnya darda selalu
terbangun sebelum alarm di handphone nya berdering, tetapi tak ada yang bisa
dia perbuat di atas kasurnya yang tipis ia hanya terlentang di samping pintu
jendela tanpa gorden,
Mengumpulkan sisa sisa
memori yang dia punya dan membuat sepercik imaji yang tak pernah bisa
mengontrolnya.
Tetapi Tak ada getaran di
tubuh darda, tak ada banyak gerakan yang dia lakukan, seolah seperti sebongkah
kayu yang pasrah terbawa arus sungai yang deras mengalir menunggu luasnya lautan
lepas, darda hanya menunggu alarm berbunyi dan hingga matanya terbuka kemudian.
“dzzzdzzzdzz kring kring” suara alarm berbunyi beradu dengan getaran
handphone di atas meja kecilnya, tepat pukul 5 dini hari darda mulai terbangun layaknya
lagu lama yang populer dan terus dia dengar setiap hari.
Darda tak pernah mematikan
alarmnya, dia hanya menunggu suara di handphone nya berhenti sendiri, memaksa
suara alarm masuk ke gendang telinganya berharap alunan kencang itu memasuki
jiwa dan benaknya, membangunkan semua tanda Tanya yang merasuki otaknya.
memasang raut muka yang penuh kebingungan seolah olah topeng
membelenggui seluruh wajahnya, raut wajah itu tak pernah ia lihat meskipun kaca
besar di hadapannya terpampang jelas di balik ekspresinya.
Sementara alarm yang kian
berbunyi kencang bergerak tak beraturan, membuat handphone darda hampir jatuh
di hadapannya, semenit berselang suara keras itu terhenti dibarengi langkah kaki
darda yang mulai berjalan keluar kamarnya.
“pagi kak?” sahut
yasinta, sembari dia lambaikan tangan kanan kearah darda, senyum tulus terpampang
jelas di raut wajah yasinta gerakan lincahnya bak kelinci lucu yang menunggu sang
kakak memeluknya,
ya jawab darda senyum lebar pun dia berikan, usapan
halusnya mendarat pelan di atas kepala sang adik, tetapi pelukan itu tak pernah
yasinta dapatkan.
Aku tak mau semua ragu dan gelisah ini menempel dan meresap ke pelukan
adikku, suara hati darda yang tak pernah bisa ia utarakan.
Tetapi yang darda tahu bahwa
kasih sayangnya lebih besar daripada yang mereka lihat dan rasakan.
halaman 7
halaman 7
energi psikis chapter 1 bab 2 - lurus
4/
5
Oleh
denis pea